Sejak pasien pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2020, pemberitaan media nasional mengenai wabah ini seakan tak pernah surut. Berbagai elemen masyarakat pun tak luput memberikan komentarnya terhadap langkah yang diambil Pemerintah di tengah kondisi darurat ini, terlebih ketika Presiden memilih untuk memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret lalu melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020.
Namun, apa sebenarnya dampak
COVID-19 terhadap hak asasi manusia? Amnesty International Indonesia mencatat
setidaknya ada empat hak asasi manusia yang terdampak akibat pandemi global
ini.
Hak
atas Kesehatan
Masih ingat soal tenaga
kesehatan kita yang kekurangan alat pelindung diri (APD) dan terpaksa
memodifikasi jas hujan, plastik sampah dan aneka rupa materi lainnya untuk
melindungi diri mereka saat bertugas? Kondisi itu berarti hak atas kesehatan
mereka sedang terancam.
Nah, menurut pasal 12(2) huruf
d Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) serta
Paragraf 12(b) Komentar Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 ICESCR, yang telah
diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005, negara wajib mengupayakan
perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri, pencegahan, pengobatan
dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang
berhubungan dengan pekerjaan, serta penciptaan kondisi-kondisi yang akan
menjamin semua pelayanan dan perhatian medis.
Hak atas kesehatan juga dijamin
dalam Pasal 4 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) serta Pasal
9(3) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain para tenaga kesehatan,
kelompok lain yang juga terancam hak atas kesehatan-nya di tengah wabah ini
adalah kelompok rentan. Siapa saja mereka?
Menurut Pasal 55 UU No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi orang
lanjut usia; bayi; balita; anak-anak; ibu yang mengandung atau menyusui serta
penyandang disabilitas. Mereka semua wajib diberikan perlindungan secara
khusus.
Hak
atas Informasi
Hak asasi berikutnya yang
terdampak di tengah wabah COVID-19 adalah hak atas informasi.
Dalam pasal 19(2) Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights-ICCPR) serta Paragraf 18 Komentar Umum No. 34
terhadap Pasal 19 ICCPR, negara wajib menjamin hak setiap orang untuk mencari
dan menerima informasi, termasuk informasi yang dimiliki badan publik.
Tidak hanya itu, negara juga
wajib menjamin aksesibilitas terhadap informasi kesehatan sesuai pasal 12(1)
ICESCR dan Paragraf 12(b) Komentar Umum No. 14 terhadap Pasal 12 ICESCR.
Informasi yang dapat mengancam
hajat hidup orang banyak, termasuk informasi terkait epidemik dan wabah, juga
wajib diumumkan oleh badan publik yang memiliki kewenangan, sesuai pasal 12
Peraturan Komisi Informasi No. 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi
Publik.
Bahkan, jika kita menilik pasal
154(1) UU Kesehatan, Pemerintah punya kewajiban untuk menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau
menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi
sumber penularan.
Keterbukaan informasi ini
penting dan dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama oleh para
tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan dalam penanganan wabah.
Keterlambatan dan rendahnya transparansi informasi terkait penanganan COVID-19
bisa membahayakan kesehatan, karena masyarakat dan tenaga kesehatan menjadi
tidak bisa mengambil langkah pencegahan yang maksimal.
Hak
atas Privasi
Wabah COVID-19 juga mengancam
hak atas privasi. Dalam sejumlah laporan media, dua pasien pertama positif
corona merasa tertekan karena pemberitaan media yang massif tentang lokasi
tempat tinggal mereka yang disampaikan oleh pejabat publik. Belum lagi, dampak
dari pemberitaan itu turut memengaruhi lingkungan terdekat mereka seperti
keluarga, teman dan tetangga.
Padahal, Pasal 17 ICCPR dan
Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah
menjamin informasi dan hak-hak pribadi. Adapun pengecualian untuk dibuka bisa
diberikan apabila terkait dengan riwayat, kondisi anggota keluarga, perawatan
kesehatan fisik dan psikis seseorang. Sehingga, pengungkapan identitas
penderita corona secara terbuka tergolong pelanggaran.
Hak
atas Pekerjaan
Dengan diterapkannya Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan kebijakan jarak sosial (social-distancing)
dan bekerja dari rumah (work from home), para pekerja -di sektor
formal hingga informal, dari pekerja industri rumahan maupun usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM), hingga pekerja harian lepas maupun pekerja
berpenghasilan rendah lainnya -rentan menghadapi risiko pemotongan upah,
penolakan hak cuti, dirumahkan tanpa upah, hingga pemutusan hubungan kerja
(PHK).
Jika perusahaan memilih untuk
memotong cuti bagi pekerja yang tidak masuk sebagai salah satu cara
pengendalian COVID-19, maka Pemerintah wajib memastikan perusahaan tetap
membayarkan upah pekerja, sesuai dengan Paragraf 41 Komentar Umum No. 23 tahun
2016 mengenai hak atas pekerjaan.
Pekerja yang mengalami
pengurangan pemasukan akibat penyakit juga memiliki hak untuk mengakses
manfaat-manfaat (tunai dan non-tunai), yang setidaknya mencakup pelayanan
kesehatan, air dan sanitasi, serta makanan sesuai paragraf 2 dan paragraf 59
Komentar Umum No. 19 tahun 2007 mengenai Hak atas Jaminan Sosial.
Yang terpenting, penanganan kondisi
darurat -apapun penyebabnya dan bagaimanapun dampak yang dihasilkan -tidak
boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Di tengah kepihatinan,
kerjasama, solidaritas dan kemanusiaan hendaknya dijadikan semangat bersama.
Sumber https://www.amnesty.id/covid-19-dan-hak-asasi-manusia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar